Scroll untuk baca berita terbaru
banner 325x300

Darmoko: Transisi Energi di G20, Gagal!

3
×

Darmoko: Transisi Energi di G20, Gagal!

Sebarkan artikel ini

DENPASAR – Finance Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko berpendapat pembahasan transisi energi di G20 dipastikan gagal. Pasalnya, pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 untuk isu transisi energi tidak mencapai Komunike.

Rangkaian panjang pertemuan yang hanya menghasilkan chair’s summary dan kesepakatan Bali COMPACT yang pelaksanaan bersifat sukarela. “Atas hal tersebut, menurut saya upaya untuk melakukan transisi energi sebagai upaya untuk memenuhi kesepakatan paris, itu gagal. Transisi Energi di G20, Gagal,” ujar Suriadi.

Katanya, salah satu isu prioritas pada G20 adalah transisi energi berkelanjutan dengan kelompok kerja dibawahnya energy transition, environment and climate sustainability. Isu tersebut mengarah kepada tujuan bersama, yakni untuk mencapai Kesepakatan Paris, membatasi kenaikan suhu global sampai di angka 1,5º Celsius tingkat pra industri. Pada isu tersebut telah dilaksanakan sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) yang puncaknya gagal mencapai komunike atau pernyataan komitmen bersama.

Proses panjang dalam kelompok kerja energy transition, environment and climate sustainability hanya melahirkan chair’s summary dan Bali COMPACT yang pelaksanaannya bersifat sukarela.

“Jika hal tersebut disepakati pada KTT G20, tidak ada tanggung jawab apapun dari negara-negara G20 menjalankan kesepakatan tersebut,” ungkap dia.

Padahal, lanjut Suriadi Darmoko,  75 persen permintaan energi dunia berasal dari negara G20. “Artinya krisis iklim yang terjadi saat ini terjadi karena ulah negara-negara G20. Meski sebagai sumber dari krisis iklim. Urgensi menangani krisis iklim seperti tidak menjadi prioritas dalam G20,” tukasnya.

Kesukarelaan negara-negara G20 ini, lanjutnya, hanya menjauhkan kita untuk mencapai tujuan bersama yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. “Negara G7 dan juga G20 tidak ada kemauan politik untuk transisi ke 100 persen energi terbarukan, justru yang menguat adalah narasi energi bersih yang telah ditunggangi oleh solusi-solusi palsu dari energi fosil,” ujarnya.

Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik mendapatkan kritik dari Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Menurutnya , kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil,” kata Pius.

Padahal, tambahnya, dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. “Pemahaman, perencanaan, dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim,” beber Pius.

Saat ini, kebijakan listrik contohnya, rencana umum pengadaan tenaga listrik (RUPTL) yang masih mengakomodir pendirian PLTU baru saat Indonesia hanya 8 tahun menuju puncak emisi tahun 2030. Pembangunan pembangkit energi berbasis fosil ini sangat sentralistik. “Akibat kebijakan energi yang tidak demokratis ini, persiapan transisi berkeadilan tidak terwujud, seperti persiapan alih lapangan kerja dari energi fosil, percepatan penyediaan energi terbarukan  dalam cukup besar,” ungkapnya.

Sementara kebijakan masih sentralistik dan bergantung penuh pada energi fossil, Bali, sebagai lokasi pertemuan G20, kerentanan Bali terhadap krisis iklim terus meningkat. Trend bencana hidrometeorologi terus meningkat. Menurut I Nyoman Gede Wiryajaya, Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah III, kedepan hujan akan lebih singkat dengan intensitas yang lebih tinggi.

“Bali, suhu udaranya mengalami trend yang terus meningkat, trend musim hujan yang meningkat, juga kemarau yang akan menjadi lebih panjang ke depan. Sehingga, bencana akan semakin banyak terjadi,” ujarnya.

“Transisi energi yang molor, agenda transisi yang jalan mundur dan justru mewacanakan energi palsu itu sama dengan mereka sedang membiarkan Bali sebagai tempat pertemuan G20, semakin rentan dan semakin terancam krisis iklim,” pungkas Moko, sapaan Suriadi Darmoko.(hdr)