
JAKARTA, gosulut.com – Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mendorong rekonstruksi pembagian urusan pemerintahan bidang pangan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang menjadikan pangan sebagai urusan pemerintahan wajib pelayanan dasar.
Penyelenggaraan pangan itu sendiri didukung berbagai sektor, apalagi Presiden Prabowo Subianto menaruh perhatian untuk kemandirian dan kedaulatan pangan, selain energi dan air.
Demikian diungkapkan Ketua BULD DPD RI Ir Stefanus BAN Liow MAP, Senator asal Sulawesi Utara saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPD RI bersama Wakil Ketua yaitu Abdul Hamid (Riau), dan Agita Nurfianti (Jawa Barat).
Penyelenggaraan pangan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah salah satu pokok bahasan RDPU BULD DPD RI di Ruang Rapat Sriwijaya Gedung B DPD RI lantai 2 Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (19/52025) dengan agenda pembahasan hasil pemantauan dan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan Peraturan Daerah (Perda) terkait ketahanan pangan.
RDPU BULD DPD RI menghadirkan tiga narasumber, yaitu Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Nurcahyadi Suparman, pakar hukum agraria Universitas Bengkulu Herawan Sauni, dan pengamat ekonomi pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori.
Pembagian urusan pemerintahan bidang pangan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan pangan bukan urusan pemerintahan wajib pelayanan dasar.
KPPOD berpendapat, karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama yang pemenuhannya merupakan bagian hak asasi manusia yang dijamin konstitusi maka pangan mesti dijadikan urusan pemerintahan wajib pelayanan dasar.
KPPOD menekankan, untuk mewujudkan kemandirian pangan, pendekatan tata kelola pangan mesti memperhatikan empat dimensi.
Pertama, penyelenggaraan pangan dijadikan sebagai urusan pemerintahan wajib pelayanan dasar. Dalam UU Pemerintahan Daerah, pangan dijadikan sebagai urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Seluruh pendukung penyelenggaraan pangan berbagai sektor seperti pertanian serta kelautan dan perikanan dijadikan sebagai urusan pemerintahan pilihan.
Kedua, pendekatan tata kelola pangan mesti multisektoral. Karena negara diwajibkan mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi yang memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Ketiga, pendekatan tata kelola pangan mesti asimetris. Dan keempat, pendekatan tata kelola pangan mesti bottom up.
Herawan Sauni mengatakan, poin pembangunan ekonomi berkelanjutan di antaranya ketahanan pangan untuk terwujudnya kemandirian pangan diserta meningkatnya nilai tambah komoditas pertanian dan kesejahteraan petani. “Strateginya pengendalian konversi lahan pertanian,” ucapnya.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan. Maka untuk mewujudkan ketersediaan pangan dilakukan antara lain mempertahankan dan mengembangkan lahan. Masalahnya, luas lahan pertanian pangan semakin kecil. Di nasional, terjadi penurunan 96.512 hektar pertahun. Di lokal, misalnya Provinsi Bengkulu, 88 ribu hektar tahun 2017, dan 45 ribu hektar tahun 2023.
Khudori menyatakan, tahun 1970-1984 Indonesia sukses mewujudkan swasembada beras karena melakukan revolusi hijau. Tetapi stagnasi sejak tahun 1998. Padahal. kedaulatan pangan dan kemandirian pangan adalah ruh pembangunan pertanian.
Dalam pemaparan materi dan diskusi yang dipimpin Wakil Ketua Agita Nurfianti, sejumlah Anggota BULD DPD RI memberikan tanggapan dan pandangan seperti Ahmad Bastian (Lampung), Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik (Bali), Destita Khairilisani (Bengkulu), dan Hasby Yusuf (Maluku Utara). (*/red)