Scroll untuk baca berita terbaru
banner 325x300

BI Perkirakan PE Sulut 2019 Melambat

×

BI Perkirakan PE Sulut 2019 Melambat

Sebarkan artikel ini
Arbonas Hutabarat bersama Praseno Hadi

MANADO — Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 Sulut akan sedikit melambat dibandingkan 2018 (6,01%). Pertumbuhan ekonomi itu diperkirakan berada di kisaran 5,8%-6,0% (yoy). Namun angka ini masih lebih tinggi dibandingkan perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kami sudah memperkirakannya setelah mencermati perkembangan terkini dan risiko perekonomian yang terjadi sepanjang 2019,” ujar Kepala Perwakilan BI Sulut Arbonas Hutabarat dalam Pertemuan Tahunan BI Sulut, di Hotel Four Points Manado, Rabu (11/12/2019).

Arbonas dalam paparannya menyebutkan, perekonomian Sulawesi Utara dari sisi lapangan usaha digerakkan oleh lima lapangan usaha utama. Yakni: pertanian, perdagangan, konstruksi, transportasi, dan industri. atau meliputi 65,24% dari keseluruhan lapangan usaha (LU) dengan pangsa terbesar dimiliki oleh LU Pertanian.

Sementara itu dari sisi pengeluaran, perekonomian Sulawesi Utara digerakkan oleh dua komponen utama yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor atau meliputi hampir 95% dari total ekonomi Sulawesi Utara. Namun demikian, sebagai provinsi yang masih membutuhkan pasokan bahan baku dari luar negeri komponen impor antar provinsi dan impor luar negeri menjadi faktor pengurang yang cukup signifikan.

“Dinamika pergerakan di lima lapangan usaha utama serta komponen konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor dari sisi pengeluaran, itu menjadi faktor penentu kinerja perekonomian Sulut selama tahun 2019,” ujar Arbonas.

Kondisi perekonomian global yang memburuk, katanya, berdampak signifikan pada perekonomian Sulut. Yakni, perekonomian global yang melambat tercermin pada turunnya volume perdagangan dunia yang pada tahun 2019 diproyeksikan hanya tumbuh 1,1% (yoy) melambat cukup signifikan dibandingkan tahun 2018 yang tumbuh 3,6% (yoy). Volume perdagangan dunia yang melambat menyebabkan harga-harga komoditas internasional yang bergerak turun, termasuk kopra (CNO) yang menjadi sumber ekspor Sulawesi Utara. Penurunan harga CNO tersebut terus berlanjut sepanjang semester I 2019.

“Harga CNO yang berada dalam tren penurunan mengakibatkan berkurangnya insentif untuk meningkatkan produksi,” ujar Arbonas.

Kondisi ini, katanya, berimplikasi pada ekspansi produksi lapangan usaha industri pengolahan yang menjadi salah satu LU utama Sulawesi Utara menjadi terhambat. “Sejalan dengan itu ekspor Sulawesi Utara juga mengalami perlambatan mengingat porsi ekspor minyak nabati dan hewani mencakup 50% luar negeri Sulawesi Utara,” jelasnya

Ditambah lagi kinerja lapangan usaha transportasi mengalami perlambatan seiring terjadinya kenaikan tarif angkutan udara, dan penurunan frekuensi penerbangan dari dan menuju Manado. “Kinerja transportasi yang melambat di tengah kontraksi lapangan industri dan kontraksi ekspor menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat,” ujar Arbonas.

Namun demikian, permintaan domestik yang masih tumbuh menguat seiring penyelenggaraan pemilu serentak, kenaikkan indikator pendapatan seperti gaji PNS, THR dan UMP, dan berlanjutnya pembangunan proyek strategis nasional (PSN) menjadi faktor penahan perlambatan dari sisi permintaan.

“Selain penyelenggaraan pemilu, pelaksanaan berbagai event nasional di Sulut tampak mendorong pertumbuhan lapangan usaha perdagangan, di tengah LU pertanian yang menguat sebagai dampak base effect sub-LU Tabama. Sementara perikanan menjadi faktor penahan dari sisi lapangan usaha,” ungkapnya.

Sementara Asisten II Setdaprov Sulut Praseno Hadi saat membacakan sambutan Gubernur Olly Dondokambey mengatakan pemerintah berusaha menjaga kinerja ekonomi daerah dengan menggerakkan seluruh sektor. Namun demikian, gejolak ekonomi global akibat perang dagang Amerika dan China menyebabkan sejumlah komoditas ekspor andalan Sulut mengalami tekanan harga.

“Seperti kopra, harganya tidak kunjung membaik di pasar dunia. Padahal komoditas itu mendominasi ekspor Sulut. Harga nasional pun demikian, karena juga dipengaruhi kondisi global,” ujar Praseno. “Begitu juga komoditas cengkih dan pala.”

Selain itu, katanya, kondisi makro ekonomi Sulut dibayangi oleh ancaman inflasi tahunan akibat komoditas rempah yang jadi kebutuhan utama masyarakat Sulut. Yakni bawang merah, cabe rawit (rica), dan tomat.

“Ironisnya, inflasi kita jadi tinggi karena kenaikan harga tomat. Kami bersama BI sampai turun langsung di pasar tradisional menggelar operasi pasar khusus tomat. Syukur, harganya mulai terkendali. Kita berharap sampai akhir tahun harganya tetap terjaga,” ujar Praseno