Scroll untuk baca berita terbaru
banner 325x300

2 PLTU Gerus Persentase Koleksi Pembangkit EBT di Sulut

×

2 PLTU Gerus Persentase Koleksi Pembangkit EBT di Sulut

Sebarkan artikel ini
PLTU Sulut 1 di Desa Binjeita, Bolmong Utara

MANADO – Eksistensi Sulawesi Utara pemilik pembangkit listrik bersumber Energi Baru Terbarukan (EBT) melebihi 30 persen perlahan akan tersingkir. Pasalnya, hadirnya PLTU Batu Bara Sulut 3 di Desa Kema, Minahasa Utara 100 MW (2 x 50), telah menggerus koleksi EBT Sulut. ‘Ancaman’ juga sedang menuju dengan akan dioperasikannya PLTU Sulut 1 berkapasitas 2 × 50 MW di Desa Binjeita, Bolaang Mongondow Utara.

Menurut Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Daerah Sulut Fransiskus Maindoka, PLTU Sulut 1 Binjeita itu akan dioperasikan atau Commercial Operation Date (COD) semester 1 2024 nanti. Listrik berkapasitas hingga 100 MW akan disalurkan ke sistem kelistrikan Sulawesi Utara-Gorontalo (SulutGo).

“Iya, jadwalnya awal 2024 nanti. Kami sedang menunggu laporannya,” ujar Maindoka kepada wartawan di Lobi Kantor Gubernur, awal Desember ini.

PLTU Sulut 3 di Desa Kema, Minahasa Utara

Menurut data Dinas ESDM Daerah Sulut, pertengahan 2021 lalu kapasitas terpasang pembangkit listrik, khusus di Sulut, sebesar 524,48 mega Watt (MW). Selanjutnya pada Agustus 2021 bertambah 100 MW dari PLTU Sulut 3. Dan nantinya akhir 2023 ini akan bertambah lagi 100 MW dari PLTU Sulut 1 Binjeita 100 MW.

Sementara kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT masih di posisi 195,06 MW. Terdiri atas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 120 MW, Listrik Tenaga Panas Surya (PLTS) 15,64 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Air/Micro Hydro (PLTA/PLTMH) 59,34 MW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau angin (PLTB) 0,08 MW.

Terkait dengan porsi EBT dalam koleksi pembangkit listrik di Sulut, sebelum hadirnya PLTU Kema berada di posisi 37,19%. Setelah PLTU Kema masuk ke sistem kelistrikan Sulut-Go, porsi EBT menyusut ke posisi 31 persen. Dan, apabila 100 MW dari PLTU Binjeita disalurkan ke sistem Sulut-Go, porsi EBT di Sulut menyusut lagi ke posisi sekitar 27 persen.

“Memang saat ini porsi EBT kira-kira 31 persen lebih. Dan kalau masuk yang Binjeita itu, turun lagi sampai 27 persen,” kata Maindoka.

Menurut Maindoka, sebenarnya untuk menambah koleksi pembangkit EBT di Sulut, sudah ada rencana PLTS Terapung di Danau Tondano. Beberapa investor sudah memaparkan rencana investasinya kepada Pemprov Sulut.

“Kapasitas rencana yang sudah disurvei sebesar 200 MWP. Yang sudah ada sekarang, kan, yang kapasitas besar itu baru ada di Waduk Cirata 120 MWP. Di Tondano lebih besar,” kata Maindoka.

Menurut Maindoka, PLTS Terapung Danau Tondano belum bisa dieksekusi karena belum terakomodasi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Dalam dokumen RUPTL 2021-2030 dicantumkan rencana pemanfaatan waduk untuk pengembangan dan pembangunan PLTS Terapung dengan kapasitas 612 MW.

Kapasitas tersebut terbagi di 6 waduk dan 1 danau. Yakni Waduk Wonogiri, Jateng 100 MW; Waduk Sutami di Karangkates, Jatim 122 MW; Waduk Jatiluhur, Jabar 100 MW; Waduk Mrica di Banjarnegara, Jateng 60 MW; Waduk Saguling, Jabar 60 MW; Waduk Wonorejo di Tulung Agung, Jatim 122 MW, dan Danau Singkarak, Sumbar 48 MW.

Ketua Umum Pemuda Energi Indonesia Erwin Damanik berpendapat, belum lolosnya PLTS Terapung Danau Tondano masuk dalam RUPTL 2021-2030 tidak harus disalahkan ke PLN. Kata dia, harusnya Pemprov Sulut mengusulkan sedari awal rencana tersebut.

“RUPTL kan boleh direvisi setiap tahun. Sejak 2015 saja sudah enam kali revisi. Terakhir ini RUPTL 2021-2030,” ujar mantan mantan Ketua Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Sulut ini.

Pembangunan PLTU

Soal masih ada pembangunan PLTU Batubara di Indonesia, termasuk di Binjeita, Bolmong Utara, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto tidak menampiknya. Katanya, pembangkit PLTU yang masih dibangun itu adalah yang sudah terencana dalam RUPTL.

“PLTU Sulut 1 di Bolmut akan COD awal 2024. Itu sudah masuk RUPTL, dan harus diselesaikan,” katanya kepada gosulut.com, akhir November lalu.

Kata mantan staf bagian Humas PLN Suluttenngo itu, pembangunan PLTU yang sementara jalan tidak dihentikan karena kebutuhan untuk mendukung investasi industri di beberapa daerah.

“Dibangun karena kebutuhan. Misalnya di Sulawesi Tengah untuk pasokan listrik ke pabrik-pabrik pengolahan nikel,” ungkapnya.

Adi—sapaannya—juga menegaskan saat ini hingga beberapa tahun ke depan PLTU masih dibutuhkan untuk mendukung penyediaan peralatan pendukung upaya pengurangan emisi karbon. Seperti pabrik baterai untuk mobil dan motor listrik, pabrik panel dan peralatan PLTS, dan lainnya.

“Di China saja masih akan dibangun PLTU lebih dari 1.000 MW untuk pabrik panel solar cell,” ujar Adi.

Data yang dilansir laman www.katadata.co.id berdasarkan data Global Energy Monitor (GEM), pada 2023 ini ada 53 unit PLTU Batu Bara yang sedang dalam tahap konstruksi. Jika rampung, PLTU yang sedang dibangun di 14 provinsi itu akan memiliki kapasitas 14,49 giga Watt (GW). PLTU batu bara terbesar yang sedang konstruksi ada di Sulawesi Tengah dengan kapasitas 5,24 GW, selanjutnya Maluku Utara 2,53 GW, Banten 2,32 GW, dan lainnya. Sulut juga masih tercatat di antara 14 provinsi itu dengan kapasitas 0,1 GW atau 100 MW.

Daya Listrik di SulutGo

Sementara General Manajer PLN Unit Induk Distribusi (UID)  Suluttenggo Ari Dartomo dalam gathering bersama wartawan di Manado, akhir Oktober lalu, memaparkan kondisi kelistrikan di sistem kelistrikan SulutGo saat ini. Yakni, daya mampu yang dimiliki mencapai 526,36 MW, sedangkan beban puncaknya 434,32 MW. Sehingga kelistrikan sistem SulutGo memiliki cadangan daya 92,04 MW. Bila PLTU Binjeita beroperasi dan masuk sistem SulutGo, berarti cadangan daya SulutGo menjadi 192 MW atau minimal 170an MW bila daya efektif yang akan disalurkan 80 persen dari 100 MW yang terpasang.

Target Transisi Energi

Sementara Institute for Essential Services Reform (IESR) melihat perkembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang lambat dalam beberapa tahun belakangan dapat berdampak tidak tercapainya target bauran EBT  23% di 2025 mendatang.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menjelaskan, untuk mencapai target 23% EBT di 2025 untuk sektor kelistrikan, Indonesia harus menambah pembangkit hingga 13 Gigawatt (GW) atau setara 6 GW sampai 7 GW pertahun.

“Untuk mencapai ini agak sulit karena melihat dari perencanaan PT PLN dan lelang pembangkit EBT pada 3-4 tahun lalu tidak ada yang sampai 6 GW hingga 7 GW. Jadi akan susah mencapai target itu,” ujarnya seperti dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (7/12).

Indonesia juga, katanya, tidak bisa begitu saja menaikkan kapasitas pembangkit EBT secara drastis dalam waktu singkat karena dapat menganggu sistem kelistrikan. Maka itu dibutuhkan waktu untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan penambahan kapasitas listrik hijau di dalam negeri.

Persoalan EBT ini, kata dia, semakin diperkeruh dengan kondisi oversupply listrik PT PLN di sistem Jawa-Bali sehingga penambahan kapasitas EBT dalam beberapa tahun terakhir sangat lambat.

Meski demikian, IESR melihat masih ada harapan lebih besar setelah 2025. Di masa itu, PLN sudah dapat mengatasi masalah oversupply listriknya di 2026 sehingga kebutuhan pembangkit EBT lebih besar.

“Kami melihat akan ada akselarasi di 2025 ke atas dan akan lebih prospektif di 2030 nanti,” ujarnya.(*)

Peliput/Editor: Bahtin