Scroll untuk baca berita terbaru
banner 325x300

Berhemat Dengan Sampah Makanan

×

Berhemat Dengan Sampah Makanan

Sebarkan artikel ini
Aktifitas Denis mengumpulkan sisa makan di kantin untuk pakan bebek peliharaannya.

Seorang pria berperawakan ceking terlihat berjongkok menghadap ember yang berisi rupa-rupa jenis sisa makanan, di dapur kantin samping kiri Kantor Gubernur Sulawesi Utara. Di tangannya sudah siap kantong plastik merah ukuran besar. Sesaat kemudian dia menumpahkan isi ember tersebut ke dalam tas.

“Untuk makanan bebek,” kata Denis Saada, pria yang sehari-harinya bertugas sebagai petugas kebersihan di Kantor Gubernur Sulawesi Utara ini. Menampung dan mengambil sisa makanan di kantin tersebut menjadi rutinitas hariannya.

Di bagian lain, di bawah tangga lantai 1 sisi selatan Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Constantine Ponamon mengulik-ulik sisa makanan dari rantang-rantang seorang pedagang makanan. Sama seperti Denis, tiap hari—biasanya siang menjelang sore—Constan mengumpulkan sisa makanan itu.

“Kalau saya untuk makanan anjing di rumah,” ungkap Constan, juga sesama petugas kebersihan di Kantor Gubernur Sulut. “Saya harus pilih-pilih makanan untuk anjing peliharaan saya. Biasanya hanya sisa nasi dan ikan. Yang lain, seperti sayur dan bekas sambal, ada orang lain yang ambil untuk makanan ayam dan bebek,” kata Constan menambahkan.

Constan mengulik sisa makanan dari rantang

Menurut Denis, selain mengambil sisa makanan dari kantin, dia juga mengambil ampas kelapa penjual nasi kuning di samping Kantor Gubernur. Biasanya saban pagi pria asal Luwuk, Sulawesi Tengah ini menjemput ampas kelapa sisa olahan untuk santan tersebut.

“Satu tas kresek sedang hampir penuh. Tiap pagi. Itu untuk makanan pagi-pagi. Kalau sore dikasih makan sisa makanan yang di kantin itu,” ungkap Denis.

Menurutnya, dia memilih untuk memberi makan puluhan bebek-bebek manila atau itik serati atau entog (Cairina moschata) peliharaannya itu dengan sisa makanan dengan tujuan untuk menghemat biaya. Tiap sore dua tas merah berisi setengah ditumpahkan untuk bebeknya.

Denis pun menghitung, untuk jumlah bebek yang sekira 30an ekor tersebut konsumsi makanannya, bila membeli pakan, lebih kurang 5 kilogram jagung kering atau pelet khusus untuk unggas seperti bebek dan ayam. Jumlah tersebut hanya sekali makan.

“Berarti untuk dua kali makan, banyaknya 10 kilogram. Jika harga jagung Rp7.500 per kilogram, berarti Rp75.000 tiap hari, sebulan 2 juta lebih,” katanya. “Tapi dengan cara ini semuanya gratis, baik untuk makan pagi atau pun makan sore,” ujar Denis.

Bebek-bebek milik Denis yang tampak menyantap ampas kelapa

Menurut Denis, pernah sebelum ketika bebeknya masih lebih banyak dibandingkan dengan saat ini, pasokan sisa makanan yang dia kumpulkan tidak mencukupi. Untuk memenuhi kebutuhan peliharaannya tersebut, dia mengumpulkan sampah sisa sayuran di Pasar Bersehati—pasar tradisional terbesar di Sulawesi Utara. Sampah-sampah ini lebih banyak dibuang ke TPA.

“Biasanya sisa-sisa sayur kol (kubis), petsai (sawi putih), dan kangkung. Satu karung penuh tiap malam diambil, dan dihamburkan begitu saja di dalam kandang. Pasti, siang sudah habis karena bebek makan sembarangan,” ungkapnya.

Sama seperti Denis, Benny—pemilik sejumlah rumah kos di Malalayang, Manado—juga memelihara bebek entog dan ayam dengan jumlah masing-masing hampir 200 ekor, dan memberi makan dari sampah makanan. Dia memilih lokasi di halaman belakang salah satu rumah kos milik seluas lebih dari 1.000 M2 untuk memelihara ratusan unggas tersebut.

Katanya, untuk memenuhi kebutuhan ternaknya tersebut, dia mempekerjakan khusus satu orang untuk mengurusi makanan bebek dan ayam tersebut. Cara memperoleh sisa makanan itu dilakukannya dengan menempatkan ember bekas kemasan cat ukuran 25 kilogram di rumah-rumah makan di komplek Kampus Universitas Sam Ratulangi Manado. Lokasi kos memang hanya beberapa ratus meter dari kampus perguruan tinggi terbesar di Sulut itu.

“Ada empat ember di tiga rumah makan. Antar pagi, sore sudah diambil. Sebelum kasih makan, dicampur dulu supaya makanannya cukup,” kata mantan jurnalis ini.

Sebagai campuran sisa makanan tersebut, dia juga memanfaatkan sisa dan sampah bahan makanan. Yakni, ampas tahu dan sampah sayuran dari pasar, serta sedikit dedak. Ampas tahu diperolehnya dari pabrik tahu yang tak jauh dari lokasi tersebut, seharga Rp10 ribu sebanyak satu tas sedang. Sampah sayuran diambil di Pasar Bersehati. Biasanya dua karung besar tiap malam.

“Sayuran dicincang lebih dulu, kemudian semuanya dicampur dan dilepaskan di tempat-tempat makanan seperti Loyang,” ungkapnya.

Lalu bagaimana dengan hasil peliharaan ternak ini? Di Sulawesi Utara, khususnya Manado dan Minahasa, kedua unggas ini bernilai ekonomi cukup tinggi. Yakni, seekor bebek entog jantan atau disebut juga basur dewasa berumur di atas 6 bulan, dihargai Rp150 ribu – Rp175 ribu. Sedangkan entog betina dewasa biasanya dijual Rp100 ribu – 125 ribu per ekor. Sementara ayam kampung muda paling murah Rp50 ribu per ekor.

“Desember barusan (sebelum Natal) terjual hampir 20 ekor. Rp2 juta lebih yang diterima,” ungkap Denis. “Kalau kami tidak menjual, tapi konsumsi sendiri. Lumayan, menghemat uang jutaan untuk makan keluarga saat Natal,” timpal Benny.

Sekadar informasi, para peternak bebek dan ayam kampung biasanya ‘panen duit’ di saat menjelang Natal atau pengucapan syukur di wilayah Minahasa Raya pada Juli hingga September. Daging bebek ini biasanya diolah menjadi menu masakan khas Minahasa: bebek bumbu RW.

RW sendiri merupakan singkatan dari rintek wuuk, artinya bulu halus dalam bahasa Minahasa. Menu RW ini pun biasanya di kampung-kampung diolah dari daging anjing. Tapi sudah bertransformasi ke sumber protein lain seperti bebek, ayam, dan ikan tuna. Bumbu RW berkarakter pedas dengan bumbu basah yang dominan.

Food Loss and Waste (FLW) di Indonesia

Pemanfaatan sisa dan sampah makanan untuk pakan ternak ini seperti direkomendasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam laporannya: Study Report Food Loss and Waste in Indonesia yang diterbitkan Juni 2021. Di halaman 27 laporan itu dicantumkan soal penanganan sisa dan sampah makanan atau dalam bahasa Inggris disingkat FLW, ada tiga cara. Yakni untuk pakan ternak, pembuatan pupuk organik (kompos), dan juga dibuang atau sebagai penimbun tanaman seperti pisang atau bawang merah.

Laporan itu menampilkan hasil penelitian FLW (food loss and waste) dengan 146 komoditas makanan sepanjang 2000-2019.  Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa tiap tahun terjadi FLW sebanyak 23-48 juta ton. Dengan kata lain bahwa tiap jiwa di Indonesia menyumbang 115-184 Kg/tahun FLW.

Studi laporan tersebut juga membeber, sesuai data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2018 dari total sampah di Indonesia, 44 persen disumbangkan oleh FLW dengan kapasitas 300 Kg/kapita/tahun.

“Dengan jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara di posisi ke-2 produsen FLW di dunia,” demikian rilis laporan tersebut.

Laporan itu juga merinci penyumbang terbesar FLW di Indonesia teratas ditempati kelompok hortikultura khususnya sayuran sebesar 62,8 persen, disusul buah-buahan 45,5 persen, daging 30,7 persen, dan ikan 29,9 persen.

Inefisiensi pengelolaan makanan sehingga menghasilkan sisa dan sampah makanan ini tentunya berdampak ke banyak sektor, antara lain ekonomi dan lingkungan.  Laporan tersebut juga membeber sebanyak 23-48 juta ton per tahun FLW itu menimbulkan kerugian diperkirakan Rp213-551 triliun per tahun atau setara 4-5 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Sisa makanan yang dominan nasi, yang masuk kelompok serealia, penyumbang terbesar kerugian ekonomi dari FLW.

Data laporan itu menegaskan bahwa tingginya produksi sisa dan sampah makanan (FLW) itu terbanyak terjadi pada tahap konsumsi, sebesar 5-19 juta ton per tahun. Dari segi jenis makanan, FLW terbesar disumbangkan oleh sector tanaman pangan, tepatnya serealia, sebesar 12-21 juta ton/tahun. Sedangkan jenis pangan yang paling tidak efisien adalah hortikultura, khusus sayuran, di mana kerugian mencapai 62,8 persen dari total pasokan sayuran domestik di Indonesia.

Dari aspek timbulan FLW memang terbanyak disumbangkan oleh hortikultura (sayuran), namun dari aspek ekonomi kerugian masih di bawah Rp30 triliun per tahun. Dibandingkan dengan jenis serealia (beras, dll.) sebagai sumber karbohidrat, yang menjadi FLW di bawah 15 persen tapi kerugian ekonomi lebih dari Rp50 triliun per tahun. Sedangkan ikan menyumbang FLW 20an persen dengan kerugian mencapai Rp20 triliun.

Sampah sisa sayuran di Pasar Bersehati Manado yang siap dibuang ke TPA.

Salah satu penyumbang FLW terbesar adalah aktifitas pedagangan, antara lain di pasar tradisional. Di Manado, misalnya, dari 400-600 ton sampah per hari yang diproduksi masyarakat Manado (data Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado), 40-50 ton disumbangkan aktifitas pasar tradisional.

Kepala Bagian Kebersihan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Manado, Ratman Asrar mengungkapkan, dari 40-50 ton sampah dari pasar-pasar tradisional itu 10-20 persen disumbangkan sampah sayuran.

“Biasanya 2 sampai 3 truk sampah khusus sisa sayuran. Belum lagi buah-buahan dan ikan. Yah, di atas 5 ton per hari,” ungkap Ratman. “Tiap hari sampah-sampah itu dibuang ke TPA Sumompo. Nanti di sana barulah ada pemilahan. Tapi hanya sampah plastik dan dus bekas yang diambil,” tambahnya.

Aktifitas perdagangan di Pasar Bersehati Manado, yang menampilkan banyaknya sampah di antara lapak pedagang.

Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado Wiske Rotinsulu mengatakan penanganan sisa dan sampah makanan untuk pakan ternak seperti telah menjadi ‘tradisi’ masyarakat Sulawesi Utara.

“Tidak mengherankan kerap kita lihat selesai acara-acara banyak orang yang membungkus sisa makanan untuk peliharaan mereka, entah hewan anjing ataupun unggas. Saya pikir ini kebiasaan yang bijak, selain untuk menghemat biaya pakan, juga mengurangi polusi lingkungan berupa bau busuk gas metana, dan karbon dioksida,” ujar Wiske.

Dari aspek ekonomi, katanya, reuse FLW ini sangat jelas dampaknya terhadap efisiensi pengeluaran. “Bayangkan saja bila pakan ternaknya harus dibeli. Artinya, harus ada budjet khusus untuk itu. Bila ternak dijual, belum tentu balik modal jika pakannya harus dibeli,” kata Wiske.

FLW dan Pemanasan Global

Tidak banyak yang menyadari bahwa membiarkan bahan makanan tersisa dan terbuang dari proses produksi hingga konsumsi, berdampak pada pemanasan global (global warming) karena timbulnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari Karbon Dioksida (CO2). Laporan studi FLW oleh Bappenas itu juga membeber bahwa total emisi gas rumah kaca dari FLW di Indonesia sepanjang 2000-2019 diestimasikan 1.702,9 Metrik ton CO2 (ekivalen). Sumbangsih polusi CO2 itu terhadap emisi GRK sebesar 7,29 persen per tahun.

Soal emisi GRK, Wiske Rotinsulu menegaskan sampah makanan yang membusuk di TPA dapat menghasilkan gas metana. Bila  kadar gas metana yang terlepas ke udara bebas jumlahnya tinggi, maka kadar oksigen berkurang dan lapisan ozon menipis.

“Gas metana juga merupakan gas rumah kaca, selain karbon dioksida. Dan emisi GRK dapat meningkatkan suhu bumi sehingga pemanasan global semakin parah, yang kita mulai rasakan beberapa tahun belakangan,” ujar Wiske.(**)